Letusan Dalam Kepala Hosea (Dimuat di Majalah HAI edisi 18 Agustus 2014)

10568908_10202660460581317_4639577392348266956_n

Hosea terbangun karena suara letusan yang ia pikir dari luar jendela kamarnya. Hari masih gelap. Sayup ia dengar masjid mengumandangkan rekaman bacaan suci. Berarti masih belum subuh. Ia raih ponsel di atas nakas. Benar saja, pukul 03.35 tertera di layar. Ia rebahkan lagi kepala di atas bantal. Memejamkan mata. Hendak mengabaikan suara yang mengagetkannya barusan.
Dor! Dor!
Suara letusan itu terdengar lagi. Kali ini lebih dekat. Menggema di dinding malam. Suatu kesan dalam suara itu membuat Hosea terjaga. Pendengarannya menajam otomatis, ia waspada. Ada suara-suara di luar pagar. Seruan-seruan tertahan dan pekikan-pekikan lirih. Hosea menyingkap tirai sedikit, membuka jendela beberapa senti, tapi di luar terlalu gelap. Ia nggak bisa melihat apa-apa. Hanya angin dingin berembus, menyelinap lewat celah yang Hosea buat, membisikkan berita muram. Membuat cowok itu menggigil. Ia usap-usap lengannya. Ketika Hosea hendak menutup kembali jendela kamarnya tiba-tiba….
“Tolong gue!”
Ada suara terengah-engah. Sesosok cowok entah dari mana muncul dari semak Pandan di luar kamar, meraih bingkai jendela, tergesa melompati birai, lalu masuk begitu saja. Hosea terkejut setengah mati. Ia beringsut mundur dan jatuh terjengkang.
“S-s-si-siapa lo?! Mau apa lo di sini?” katanya panik.
Dalam gelap ruangan itu tangannya mencari-cari tongkat kasti yang seharusnya ada di dekat situ. Kemudian sekuat tenaga Hosea bangkit dan berusaha melihat wajah cowok di hadapannya. Tapi sia-sia. Sedikit cahaya temaram dari bawah pintu sama sekali nggak membantu.
“Ini gue, bego! Aries.”
Hosea merasa kenal suara itu. “Astaga! Lo, Ries! Apa yang…?”
“Sssstt!” Aries membungkamkan telapak tangannya ke mulut Hosea. Bau bangkai serta-merta menerjang hidung. Saking busuknya Hosea bahkan bisa merasakan anyir itu di mulutnya. Mendadak seporsi rendang yang ia makan malam tadi mendesak naik ke kerongkongan.
“Lo habis kejebur kuburan, apa? Huek! Baumu bikin gue pengen muntah!” protes Hosea setelah susah-payah melolos dari bekapan Aries. “Apa sih yang terjadi?”
Yang Hosea ajak bicara masih tampak was-was. Aries beringsut ke balik tirai lalu mengintip keluar. Pertanyaan itu ia biarkan menggantung lama sekali sampai kemudian mengendap dengan sendirinya dan hilang seperti hembusan napas di udara.
“Woi, Ries, gue tanya apa yang terjadi?” tanya Hosea nggak sabaran.
Aries memutar tubuh, sehingga dua karib itu saling hadap. “Gue dikejar-kejar anak SMA 85, Hos,” jawabnya berbisik. Ruangan itu masih gelap, namun Hosea sekarang terbiasa sehingga samar ia bisa melihat wajah Aries. Di balik poni ikalnya, raut Aries menyiratkan takut.
“Lo tau kan ini jam berapa? Belum juga jam empat! Masih pagi buta, tahu! Dan lo dikejar anak sebelah?” Hosea bicara sambil memelankan suara agar nggak membangunkan ortunya di kamar sebelah. “Dan suara tadi? Jangan bilang mereka bawa pistol atau senapan atau semacamnya….”
Di luar dugaan Aries manggut-manggut. “Mereka bawa pistol,” katanya lirih seolah khawatir para pengejar itu bisa mendengarnya dari dalam situ. Napas Hosea tercekat di tenggorokan. Ia menelan ludah, tapi ludah itu terasa setajam kerikil. “Lo habis ngapain?” tanyanya hati-hati.
Aries memandangnya lekat-lekat. Hosea bisa merasakannya. Tatapan itu seperti sorot senter yang diarahkan pada orang yang kedapatan mencuri. “Lo tanya gue habis ngapain?” Aries mendesis, lalu ia melanjutkan dengan suara tetap lirih namun nadanya meninggi, “Gue habis ngapain? Ini semua gara-gara lo, Hos! Gara-gara kelakuan lo gue harus nanggung semua ini!”
Ledakan amarah yang tiba-tiba itu membuat Hosea gemetar. “G-gu-gue nggak ngerti apa yang lo maksud.”
Aries mencibir. “Lo ya gitu itu, selalu lari dari kesalahan yang lo perbuat! Orang lain lo tinggalin nanggung akibatnya. Pengecut!” bicara Aris kedengaran seperti pecahan beling yang disayatkan ke urat nadi.
“Tapi, Ries….”
Tahu-tahu Aries tertawa nyaring. Sumbang pula. Terbahak-bahak seperti kesetanan. Ia mengulang-ulang kata-kata itu, “Pengecut! Lo pengecut, Hos! Banci!” Cowok itu terus tertawa layaknya orang hilang kewarasan. Dan tubuhnya semakin mundur kembali mendekati jendela. Saat Aries tepat berdiri di ambang jendela itu, tahu-tahu tangan-tangan hitam bermunculan dari balik punggungnya dan dengan kasar menariknya keluar secara paksa. Aries memekik, “Arrrrghh! Tolong! Tolongin gue, Hos!”
“Aries!” Gegas Hosea menuju jendela, namun kawannya sudah nggak tampak di mana-mana. Ia cuma bisa mendengar teriakannya yang pelan-pelan menjauh, semakin samar di telan bayang-bayang jajaran pohon Angsana di tepi jalan, terus hilang menuju gelap.
“Aries! Ariiiies!”
Braaakk!
Pintu kamar terbanting. Orangtua Hosea menerjang masuk. Ayahnya menyergap tubuh Hosea dari belakang. Memeluknya erat-erat. Sementara ibu bicara padanya, “lihat Ibu! Lihat kemari.”
“Tenang, tenang,” bisik ayah.
“Nggak ada siapa-siapa. Aries nggak di sini,” ucap ibu.
Hosea mendengus-dengus. Meronta. Napasnya nggak beraturan. “Dia lupa minum obat?” ayah berkata pada ibu. Wanita itu menggeleng sedih. Menatap cemas pada anaknya. “Seandainya mereka nggak terlibat tawuran waktu itu…,” katanya, menyuarakan harapan kosong.
Setahun lalu, waktu Aries dan Hosea pulang sekolah berboncengan motor, mereka melihat cewek SMA 85 yang berjalan seorang diri di jalan sepi. Saat itu timbul niat iseng dalam benak Hosea. Ketika motor mendekati si cewek, tanpa sepengetahuan Aries tangan Hosea menepuk bagian belakang tubuh perempuan itu, lalu ia tertawa-tawa melecehkan sembari berlalu. Tentu saja diperlakukan nggak senonoh begitu cewek itu teriak-teriak histeris. Nggak disangka dalam warung kopi dekat situ berkerumun murid-murid cowok SMA 85 yang langsung ramai-ramai menguber Aries dan Hosea.
Setelah melalui proses kejar-kejaran yang panjang dan berliku-liku, kedua karib itu akhirnya tertangkap. Mereka dipukuli habis-habisan. Namun di tengah kejadian Hosea melihat celah. Ia melarikan diri. Meninggalkan Aries jadi bulan-bulanan. Waktu ia kabur belum jauh, terdengarlah suara itu….
Dor!
Hosea membalikkan badan. Berhenti.
Lalu disusul letusan lain. Dor! Dor!
Hosea ketakutan. Dia berlari kembali, nggak menoleh ke belakang lagi. Tapi suara letusan itu terus menggema dalam kepalanya dan nggak pernah hilang, selamanya.