Di sore awal Januari itu hujan sudah beberapa hari idak turun. Ketika itu langit Pandaan agak berawan, kadang turun gerimis singkat-singkat. Sepanjang jal menuju kota Malang terlihat segumpal besar awan hitam menyembur-nyemburkan kilatan petir di sisi di mana gunung Arjuno seharusnya tampak. Saya agak ketar-ketir karena waktu itu berboncengan motor dengan seorang kawan. Akan tetapi ketika sampai di tempat tujuan untungnya cuaca sangat bersahabat walau udara agak dingin dan mengandung banyak uap air.
Memasuki Saboten Shokudo yang letaknya ada di jalan Dieng nan elite itu kesan pertama yang bakal orang rasakan adalah bahwa tempat itu sejatinya adalah sebuah rumah tinggal yang dialihfungsikan menjadi tempat nongkrong. Ya, meski menyajikan hidangan-hidangan bernuansa Jepang, Saboten Shokudo tidak dapat disebut sebagai restoran. Agaknya memang pangsa pasar yang dituju adalah para muda yang sedang studi di Kota Apel seperti kebanyakan rumah makan di sana, sehingga konsep yang diusung pun lebih ke arah café tempat kongkow-kongkow menghamburkan waktu senggang bersama sahabat daripada resto.
Dinding-dinding dalam bangunan yang tidak seberapa luas itu dicat merah yang memberi kesan hangat dan akrab. Beberapa ornamen berbau Jepang seperti lukisan bunga sakura dan bunga plum, lampion-lampion kertas bertulis aksara kanji, sebidang penuh dinding yang digambari perempuan Jepang berkimono sambil membawa senampan sushi, dan bentuk perabotan yang dipakai memperkuat detail Negeri Matahari Terbit. Sayangnya selain masakan dan pernak-pernik yang digunakan, hal-hal lainnya justru terasa kurang mengena, kurang Jepang, bahkan agak janggal. Apabila di gerai-gerai makanan Jepang yang tersebar di mall-mall kita disambut dan dilayani oleh pramuniaga berseragam seperti pelayan depot-depot di Jepang sana yang mengucapkan salam hangat dalam bahasa Jepang, Saboten Shokudo tidak. Pelayannya, meski tidak bisa disebut acuh tak acuh, tapi juga tidak bisa dibilang ramah. Standar saja. Bahkan setelah beberapa saat berada di dalam tempat makan itu saya baru sadar kalau lagu yang mereka putar bukannya lagu soundtrack anime atau band-band asal Jepang, melainkan lagu-lagu Taylor Swift seperti Blank Space dan We Are Never Ever Getting Back Together!
Di tempat ini pengunjung bisa memilih makan di dalam bangunan utama Saboten Shokudo, dalam bilik-bilik tak berpintu berukuran dua setengah kali dua setengah meter di mana terdapat empat meja di tiap-tiapnya atau di teras belakang yang disulap menjadi semacam gazebo memanjang yang terbuat dari kayu. Bilik-bilik itu sebenarnya adalah kamar-kamar tidur dalam bangunan rumah asal yang pintu-pintunya dilepas dan dinding-dinding penyekatnya dilubangi untuk memberi kesan luas dan tidak sumpek. Dari bangunan utama tersebut jika kita jalan ke belakang dan menyeberangi sebuah taman kecil bertemulah kita dengan gazebo yang saya maksud. Bedanya, jika di dalam bagunan pengunjung saat makan duduk di atas kursi dan merupakan no smoking area, bagian belakang yang ini kebalikannya, lesehan dan siapapun bebas merokok. Tapi tak perlu khawatir sesak napas menghirup asap tembakau karena desainnya yang terbuka memungkinkan udara leluasa berganti, angin menyelinap lewat tirai-tirai bambu, bahkan kalau mau kita bisa memandang bintang-bintang silih berganti muncul dan sembunyi di balik awan.
Untuk makanan, seperti saya bilang tadi, harganya murah meriah. Tapi soal kualitas tak perlulah dipertanyakan. Rasa juga enak dan porsinya, yang kalau dilihat sekilas tidak terlalu besar, ternyata mengenyangkan. Sore itu saya pesan Beef Nanbayaki. Itu adalah daging sapi yang dimasak dengan bawang bombay dan bumbu tertentu, lalu diberi taburan cabai rawit cincang. Jadi kalau Anda penggemar pedas, menu ini sangat direkomendasikan. Rasa pedas campur manis benar-benar menggugah selera makan. Dagingnya dimasak matang sempurna dan tidak alot sama sekali. Disajikan dengan sedikit salad kubis dan wortel berlumur mayonnaise, makanan ini dibanderol Rp. 20.000,-
Teman saya memesan Bulgogi. Well, sebenarnya nama ini kurang cocok karena Bulgogi adalah masakan khas Korea. Mungkin lebih sesuai disebut Yakiniku. Dilihat dari kenampakannya, Bulgogi ini mirip dengan Beef Nanbayaki, hanya minus cabai rawit. Untuk taburannya digunakan biji wijen sangrai yang menambah cita rasa dan diberi secawan kecap asin sebagai cocolan. Bulgogi, eh, Yakiniku, emm… Bulgogi ini dihargai Rp. 20.500,-
Untuk dimakan berdua, kami pesan satu menu lagi, yaitu Sexy Dancer. Nama yang aneh, bukan? Saya sempat dibuat penasaran dengan makanan satu ini. Ternyata setelah dihidangkan ia adalah Chicken Katsu! Dari segi tekstur, ayamnya dimasak dengan baik. Campuran telur, tepung terigu, dan tepung roti yang menyalutnya digoreng garing, daging di baliknya matang namun masih juicy. Sayangnya jika pada umumnya Chicken Katsu disajikan dengan sup miso, di Saboten Shokudo tidak. Dan sayangnya lagi, rasanya tidaklah seseksi namanya. Sebagai gantinya menu ini disuguhkan dengan pelengkap acar cabe dan kentang goreng. Sexy Dancer yang tidak terlalu menggairahkan ini dipatok hanya Rp. 17.500,-
Untuk minuman tersedia berbagai macam dengan nama yang aneh-aneh pula. Rata-rata mereka mematok harga pada kisaran sepuluh ribu Rupiah.
Secara keseluruhan Saboten Shokudo menyenangkan untuk dikunjungi. Di kota asal presenter kondang Feni Rose yang sekaligus tempat bermukimnya grup sepakbola Arema ini, mereka punya dua cabang. Selain di Jalan Dieng yang saya kunjungi, ada pula di Jalan Danau Kerinci Raya C2-A9, Sawojajar. Buka setiap hari, hari Senin sampai Kamis mereka beroperasi sejak jam 12 siang sampai 10 malam. Sementara hari Jumat mereka buka lebih siang, yaitu jam 13.00. Sabtunya mereka tutup lebih larut, sampai jam 11 malam.